BIREUEN/ACEH, KORANPEMBERITAANKORUPSI.CO
Program studi banding yang diadakan untuk memperluas wawasan tentang peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pengembangan, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan Desa, menjadi sorotan publik karena dituduh sebagai sarana bisnis konspirasi.
Acara ini, yang direncanakan berlangsung di Hotel Ibis Jakarta Harmoni, Jalan Hayam Wuruk No. 35, Jakarta Pusat, diselenggarakan oleh Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Program Nasional (LPPPN).
Gelombang pertama acara ini akan digelar dari tanggal 3 hingga 6 Juni 2024, diikuti oleh BPD dari kecamatan Ganda Pura, Jeumpa, Jeunib, Kuta Blang, Makmur, Peulimbang, dan Simpang Mamplam. Sementara itu, gelombang kedua dijadwalkan berlangsung dari tanggal 10 hingga 13 Juni 2024, melibatkan BPD dari kecamatan Peusangan, Peusangan Selatan, Peusangan Siblah Kreung, Pandrah, Kota Juang, Kuala, Jangka, dan Peudada.
Meskipun tujuan utama acara ini adalah untuk memberikan wawasan baru bagi peserta mengenai pengelolaan dan pemberdayaan desa, beberapa pihak mulai menyuarakan keraguan terhadap motif sebenarnya di balik studi banding ini. Mereka menganggap bahwa acara ini merupakan pemborosan anggaran Dana Desa oleh oknum tertentu untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Anggaran yang dibutuhkan untuk setiap peserta mencapai Rp 8,5 juta, belum termasuk biaya tiket pesawat pulang-pergi. Dengan total peserta mencapai 609 orang, anggaran keseluruhan yang dikeluarkan mencapai sekitar Rp 5.176.500.000.
Biaya tersebut mencakup penginapan selama empat hari tiga malam, konsumsi (sarapan pagi, makan siang, dan makan malam), transportasi, paket room meeting, name tag peserta, sertifikat, seminar kit, narasumber, souvenir, dan tas. Namun, masyarakat meragukan apakah pengeluaran sebesar ini benar-benar memberikan manfaat yang sebanding bagi pengembangan desa atau hanya merupakan sebuah upaya untuk menghasilkan keuntungan bagi pihak tertentu.
Sejumlah warga menyuarakan keprihatinan mereka terhadap penggunaan Dana Desa untuk kegiatan semacam ini. Menurut mereka, Dana Desa seharusnya digunakan secara langsung untuk pembangunan dan program-program yang memberikan manfaat langsung bagi masyarakat desa, bukan untuk acara-acara yang dianggap sebagai “bisnis konspirasi”.
Sementara itu, Ketua Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Program Nasional (LPPPN) berpendapat bahwa acara ini penting untuk meningkatkan kapasitas dan pengetahuan anggota BPD dalam menjalankan tugas mereka, sebagaimana tertuang dalam surat undangan yang menguraikan rincian acara, termasuk lampiran rundown nomor 1062/SDM/LP3N/V/2024.
Namun, kritik juga datang dari aktivis pemberdayaan desa yang berpendapat bahwa kegiatan serupa sebenarnya dapat dilakukan di wilayah terdekat dengan biaya yang lebih rendah. Mereka menegaskan bahwa tidak perlu melakukan perjalanan jauh ke Jakarta untuk mendapatkan manfaat yang sama, karena provinsi tetangga atau bahkan provinsi sendiri juga memiliki praktik pengelolaan desa yang baik.
Dengan adanya kontroversi ini, kegiatan studi banding BPD Bireuen menjadi sorotan masyarakat dan menjadi topik hangat di Kabupaten Bireuen. Masyarakat berharap adanya transparansi lebih lanjut dalam penggunaan Dana Desa dan menuntut agar lebih banyak program yang benar-benar memberikan dampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat desa.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak pemerintah Kabupaten Bireuen mengenai kritik yang dilontarkan oleh masyarakat. Masyarakat menantikan klarifikasi dan transparansi lebih lanjut dari pihak berwenang terkait penggunaan anggaran dalam kegiatan ini.(koranpemberitaankorupsi.co)